Friday, 15 July 2016

Makna sesajen

Oleh, Jakob Sumardjo

Dalam kuliah lapangan mengantar mahasiswa S2 Universitas pendidikan indonesia ke kabiyutan Cipaku Darmaraja, sumedang, kami meminta izin untuk melihat goah pada salah satu rumah Sunda yang berisi gentong penyimpan beras dan pusaka-pusaka keluarga. Kamar itu hanya boleh dimasuki oleh perempuan, kecuali anak-anak lelaki belum dewasa.

Karna rombongan kami separoh lelaki, maka mahasiswa yang berasal dari daerah itu meminta izin dan ampunan pada Sang Hyang Sri Pohaci dan para keruhun untuk diperbolehkan melihat dan memasuki goah demi ilmu pengetahuan. Kamar itu gelap, dingin, dan agak lembab karna disampingnya ada kamar mandi dan dapur.

Didalamnya memang ada gentong penyimpan beras keluarga yang dibungkus kain putih (kain putih yang juga memagari tempat kabuyutan dan pembenihan padi didaerah itu). Diatasnya ada penutup gentong dan tempat sesaji. Saya meminta kepada mahasisw untuk memeriksa bahan-bahan sesaji tersebut. Dan ditemukan ada telur, sirih dan kapur, botol minyak wangi kecil, sisir, cermin, rokok, tembakau, cerutu.

Bahan-bahan sesajen itu bukan "makanan" roh-roh halus yang dipercayai masyarakat, seperti umum duga.
Sesajen memang berupa makanan, buah-buahan, dan lain-lain, tetapi itu hanya simbol-simbol semesta. Simbol-simbol sesajen adalah simbol entitas lelaki dan entitas perempuan. Yang bersifat laki-laki itu berarti itu bumi, matahari, panas, terang, bagian luar, bagian kanan, musim kering, dan lain-lain. Sedang yang bersifat perempuan itu langit, bulan, dingin, air, gelap, bagian dalam, bagian kiri, musim hujan, dan lain-lain.
Kedua entitas lelaki dan perempuan semesta ini diharmonikan, dijejerkan, disatukan, dikawinkan dalam wadah sesajen. Dengan perkawinan unsur-unsur semesta itu maka terjadilah keselamatan, kesuburan, kesehatan, kemakmuran, kesejahteraan untuk seluruh keluarga.
Semesta itu hidup seperti manusia, yakni penuh daya-daya. Hujan turun dari langit adalah "kehendak" daya-daya personal langit. Kalau hujan turun dari langit membasahi bumi yang kering, maka terjadilah kesuburan tanaman. Inilah sebabnya simbol-simbol lelaki dan perempuan ada dimana-mana pada masyarakat perdesaan primordial.

Lalu apa makna sesajen di cipaku tersebut?
Telur adalah simbol totalitas tiga dunia, yakni langit, bumi, dan dunia manusia. Kulitnya adalah bumi-tanah, putihnya langit, dan kuningnya dunia manusia. Sedangkan cermin, minyak wangi, kapur, cermin, simbol perempuan. Simbol lelaki adalah rokok, tembakau, sirih, cerutu.

Daftar panjang bahan sesajen dapat sebatang tebu yang laki-laki, kelapa muda yang dilubangi sebagai perempuan. Air putih sebagai langit yang perempuan, air kopi sebagai bumi-tanah lelaki , dan air teh sebagai dunia tengah manusia ini. Bubur merah sebagai lelaki dan bubur putih sebagai perempuan, putih warna kehidupan, merah warna langit, tujuh buah (rujak) simbol ketujuh lapis bumi. Nasi tumpeng simbol gunung yang merupakan penghubung bumi dan langit. Nasi putih sebagai simbol timur dan air, nasi merah simbol selatan atau api. Nasi kuning sebagai simbol barat atau angin. Dan ketan hitam simbol utara atau tanah. Itulah bahan-bahan keberadaan ini, termasuk unsur-unsur tubuh manusia menurut orang-orang tua dahulu.

Dengan demikian sesajen adalah simbol, seperti simbol-simbol masyarakat di manapun dan kapanpun. Setiap sistem kepercayaan memerlukan simbol-simbol apa yang dipercayai tersebut. Simbol-simbol  demikian itu tentunya ada penciptanya. Dan kita sudah tak tahu lagi penciptanya. Dan para pencipta simbol itu tentu seorang intelektual yang memahami makna hakiki segala sesuatu. Pada masyarakat purba kaum ladang dan sawah di sunda tentu juga memiliki "orang pintar" seperti itu.

Masyarakat hanya menggunakan simbol-simbol penciptaan "orang pintar" intelektual itu tanpa banyak tanya. Yang penting melakukannya. Kita juga tak pernah bertanya makna simbol bendera kita, merah dan putih. Merah diatas putih dibawah. Kita tinggal percaya dan mengibarkannya waktu mengingat tanah air. Padahal itu simbol nasional yang seharusnya, sebagai kaum terpelajar, kita pantas untuk menanyakan maknanya.

Begitulah manusia. Seperti anak kecil, kita percaya begitu saja segala sesuatu yang harus kita kerjakan dalam hidup ini, tanpa pernah bertanya mengapa harus begitu. Mengapa harus makan nasi? Mengapa sayur lodek kok seperti itu. Ya kita semua seperti anak kecil yang percaya pada apa yang dilakukan orang tua. Orang tua percaya begitu saja apa kata masyarakat, dan masyarakat percaya begitu saja pada apa yang diajarkan dan harus dilakukan oleh nenek moyangnya. Dan pada akhirnya para nenek moyang itu percaya pada "orang-orang pintar" mereka.

Orang desa dipaku Alam. Cipaku, Darmaraja itu setia menyediakan sesaji diatas gentong beras, karena begitulah seharusnya supaya beras tidak busuk , tetap segar dan wangi. Mengapa harus tembakau dan cermin dan lain-lain itu? Mereka tidak bertanya karna mereka percaya. Hanya orang modern saja yang bertanya, seperti rombongan mahasiswa S2 tadi. Orang modern itu rasional. Tetapi orang modern ternyata juga sama dengan penduduk desa tersebut, yakni percaya tanpa bertanya. Kita gemar menyantap McDonald tanpa bertanya mengapa jenis makanan seperti itu harus kita makan? Apa efeknya bagi tubuh, bagi kesehatan? Sebagai orang modern pun kita tak pernah mempertanyakan segala hal.***


No comments:

Post a Comment